span.fullpost {display:inline;} span.fullpost {display:none;} Read More..

Jumat, 29 Januari 2010

Jejak Santana di Indonesia

Bersama nama-nama besar lain seperti The Beatles, Rolling Stones, Led Zeppelin, Deep Purple, dan Black Sabbath, nama Santana sangat populer di kalangan publik musik Indonesia tahun 1970-an.
Lagu-lagu Santana, seperti Evil Ways, Black Magic Woman, Oye Como Va, dan No One Depend On, begitu akrab di telinga para penggemar musik rock saat itu. Berbeda dengan grup-grup asal Inggris di atas yang berlatar rock’n’roll Eropa, nuansa musik tradisional Amerika Latin (ada yang menyebutnya Afro-Latin) yang diramu dengan irama blues, rock, dan jazz menjadi warna khas musik Santana. Nama Santana diambil dari pendiri sekaligus gitaris utamanya, yaitu Devadip Carlos Santana, musikus genius kelahiran Meksiko, 24 Juli 1947. Petikan gitar Carlos yang unik menjadi ciri utama grup ini.
Pada 1968 Santana hijrah ke San Francisco dan memulai debutnya di panggung festival Woodstock (1969) yang sangat fenomenal lantaran menjadi ”one of the most important rock and roll performances of all time”. Evil Ways, Jingo, dan Soul Sacrifice merupakan tiga komposisi yang dibawakan Santana di Woodstock.
Pada tahun yang sama Santana merekam album pertama bertajuk Santana, dengan formasi (di luar horn section) Carlos (gitar), Gregg Rolie (kibor/vokal), Dave Brown (bas), Mike Shrieve (drum), serta Jose Areas dan Mike Carabello (perkusi). Inilah formasi yang sering disebut sebagai ”the classic Santana lineup”. Susunan ini kemudian juga melahirkan dua album berikutnya yang sangat berkarakter rock’n’roll era akhir 1960-an dan awal 1970-an, yaitu Abraxas (1970) dan Santana III (1971).
Memang dalam album pertamanya musik Santana (yang semula bernama Santana Blues Band) masih kuat berakar ke blues, khususnya dalam lagu You Just Don’t Care. Carlos memang sangat mengagumi gitaris blues Stevie Ray Vaughan dan Jimi Hendrix. Di album ini juga dapat dinikmati duel permainan gitar Carlos dan organ Gregg dalam Waiting dan Soul Sacrifice. Tetapi, yang melambungkan nama Santana adalah Evil Ways yang hingga detik ini masih sering diputar oleh berbagai stasiun radio di seantero dunia.
Dari album Abraxas lahir lagu-lagu seperti Black Magic Woman (karya Peter Green) dan Oye Como Va (Tito Puente) yang mengulangi sukses Evil Ways, serta Samba Pa Ti (instrumental) yang meneguhkan Carlos sebagai musisi rock yang juga piawai memainkan nomor balada. Abraxas merupakan salah satu album rock klasik terbaik sepanjang sejarah dan karena itu wajib dikoleksi para penggemar musik rock era psikedelik.
Sedangkan Santana III atau yang terakhir dari Santana formasi legendaris ini antara lain berisi No One To Depend On, Everybody’s Everything, Everything’s Coming Our Way, Guajira, Toussaint L’Overture, dan Jungle Strut. Di album ini Santana juga diperkuat oleh Neil Schon (gitar) dan Coke Escovedo (perkusi).
Masuknya gitaris agresif Schon memang membuat Santana III lebih keras dibandingkan Santana dan Abraxas. Lagu No One To Depend On, misalnya, mirip dengan Evil Ways. Namun, raungan gitar Schon membuat No One menjadi lebih nge-rock ketimbang Evil Ways yang lebih mengedepankan suara perkusi.
Tidak lama setelah sukses Santana III, Schon dan Rolie meninggalkan Santana untuk membentuk Journey. Grup ini Oktober nanti akan merilis album studio yang ke-13 bertajuk Generations.
Santana sendiri masih terus berkibar hingga saat ini, tetapi ia lebih banyak berkiprah di jalur musik latin-pop yang lebih komersial. Album Supernatural (1999) konon menjadi album Santana paling laris. Namun, bagi para penggila rock klasik, tiga album awal Santana itulah yang tetap dianggap memiliki karakter kuat dan sekaligus meneguhkan Santana sebagai salah satu grup rock berpengaruh pada era 1970-an.
Pengaruh ke Indonesia
Di Indonesia pengaruh musik latin-rock Santana terlihat jelas pada grup pop-rock era 1970-an, yaitu The Gembells. Nama The Gembells merupakan singkatan dari ”Gemar Belajar” lantaran para anggotanya (Victor Nasution, Anas Zaman, Rudy Anant, Abu Bakar, Djodjok, dan Minto) saat itu masih berstatus sebagai mahasiswa di Universitas Airlangga (Unair) Surabaya.
Bagi publik musik Jawa Timur, popularitas The Gembells saat itu mungkin bisa disejajarkan dengan popularitas band Padi saat ini, yang juga alumnus Unair. ”Lagu-lagu The Gembells antara tahun 1970-an dan 1980-an sangat tenar seperti lagu-lagu Padi sekarang ini,” kata Juda Nirwana, penyelenggara ”The Gembells & Panbers Night” di Surabaya, 19 Juni 2004.
Jika Santana sering disebut sebagai pengusung aliran Afro-Latin, maka The Gembells pernah memproklamasikan diri sebagai pembawa aliran ”Afro-Asia”. Sepanjang karier mereka, The Gembells setidaknya pernah menghasilkan tujuh album yang direkam PT Musica Studios Jakarta, yaitu Pahlawan yang Dilupakan, Balada Kalimas, Hey Dokter, Surapati Wiranegara, Si Munafik, Singosari!, dan Balada Seorang Pahlawan. Mereka juga merilis dua album kompilasi, yaitu 12 Tahun The Gembells (1969-1981) dan Gembells 83.
Dilihat dari judul-judul albumnya, grup asal Surabaya ini memang tampak menonjolkan tema-tema kepahlawanan dan protes sosial. ”Hanya protes kami lebih bersifat halus daripada protes yang dicetuskan oleh kaum mbeling-nya Bandung,” kata Anas Zaman, seperti dikutip majalah Aktuil edisi 106 (1972).
Pengaruh lagu-lagu Santana (khususnya Evil Ways, Black Magic Woman, dan Oye Como Va) terlihat jelas pada lagu-lagu Bergembira, Adik yang Lucu, Pagi yang Cerah, dan Kepesta yang terdapat di album The Gembells pertama hingga keempat. ”Kami mengakui adanya inspirasi dari musik Santana, namun bukan berarti kami menjiplak,” katanya.
Dua grup asal Surabaya lainnya yang juga sempat memasukkan unsur Santana dalam karya-karya mereka adalah AKA (yang dikomandani si kribo eksentrik Utjok Harahap) dan De Hands (yang dimotori Mus Mudjiono, yang kemudian lebih dikenal sebagai musisi pop-jazz). Perhatikan, misalnya, komposisi lagu Alam Tanah Air dari album pertama AKA (Do What You Like) serta lagu Thank You dari album pertama De Hands, Hallo Sayang, yang sangat kental unsur Santana-nya.
Dari Jakarta bisa disebut nama grup progresif Yap Brothers, yang waktu itu dianggap sebagai pelopor penggabungan unsur pop-rock dengan musik orkestra di kancah musik Indonesia. Dalam album Pelangi di Senja Hari, Yap Brothers memasukkan unsur Santana dalam dua komposisi mereka, Mawar Merah dan Cita-cita. Hal yang sama terlihat pada komposisi When the Night was Falling karya Freedom of Rhapsodia (album pertama) dan My Iggy karya The Rollies (album Let’s Start Again). Keduanya termasuk grup rock kebanggaan warga Kota Bandung era 1970-an.
Dalam bentuk lain, pengaruh Santana juga sangat terasa pada album-album grup asal Irian Jaya, Black Brothers, terutama dalam memadukan unsur musik tradisional setempat yang berirama dinamis dengan musik pop, rock, dan funky-blues (disko).
Kendati tak sedahsyat pengaruh grup-grup rock klasik asal Inggris, pengaruh Santana tak bisa diabaikan dalam perjalanan musik di Tanah Air pada era 1970-an.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda